Thursday, March 26, 2020

Hey 2020!

Hey.

Hey.

Hey.

Oh, baru kali ini lagi mau nulis beberapa hal, dua tahun ke belakang, gue bener-bener gatau kenapa bisa mengacuhkan blog ini. Serius. GUE. GAK. TAU. SAMA. SEKALI. Temen-temen gue bilang, “Ben lo masih ngeblog?” Gue selalu jawab, “Emang ada yang mau baca?”

Iya, gue ga sepercaya diri gitu sama diri sendiri. Padahal nulis itu kegiatan ya yang gue sukai, bukan sesuatu yang terpaksa gitu lho. Tapi, yaudahlah, ujung-ujungnya gue ga nulis juga. Bukan masalah hype-nya yang memang sudah berkurang untuk dunia tulis menulis ini, sih.

So, mari kita lanjutkan

***

How’s your life until now? Good, ya? Doing well? Bad? Oh, maaf, bukannya mau pakai bahasa Inggris, tapi sejak 2018, gue les di EF sih. *menyombongkan diri sendiri*. Ya, alesannya sih buat nambah ilmu aja dan bingung habisin uang. Hasek. *ditonjok*

Tapi, bener deh, sepemikiran gue itu, gak ada yang lebih baik menghabiskan uang di pengembangan diri kita sendiri. Tsaaaaaaah~~~

Banyak yang nanya, sepengaruh apa sih les Inggris begitu. Penting ga penting, sih. Gue ikut les waktu itu ingin memperdalam ilmu, ya siapatau gue punya kesempatan buat kuliah di luar negeri, kan. Siapatau. Manusia ga ada yang tau. Cuma Tuhan yang tahu. Ya kan?

Jadi, kalo sekarang mau tanya lagi, gue jawab "Ya biar ada pengeluaran aja itu kartu kredit yang gue pake"

Gimana? Bagus ngga jawaban gue? Baguslah ya pasti.

Jadi selanjutnya gimana nih? Bahas apa?

Bahas hiking?

Bahas pekerjaan?

Bahas percintaan?

Ah, gue bahas hiking aja deh.

Setelah baca nih blog, ternyata ga setiap pendakian, gue masukin ke sini. Ya kaya gue pergi ke Gn Slamet berduaan aja enggak ada.

Eh eh eh by the way, gue habis naik gunung deng tahun kemarin, ya kecil-kecilan gitu. Pergi ke Gn Gede. Rasanya masih sama, kaya kisah yang udah-udah gitu. Capek deketin – jalanin – udahan – jalan pulang.



Eh itu bahas naik gunung atau kisah cinta gue? Hmm.

Tapi naik gunung memang sangat berkesan sih, menurut gue. Pengalaman yang gak bisa diganti. Karena belajar itu learn, new itu baru. Kenapa jadi jokes om-om gini.

***

Lalu, dua tahun ini gue juga disibukkan banyak hal sih. Terutama masalah nyokap yang selalu nonton yutub setiap harinya. Iya sesering itu. Untung dia belum terjun ke dunia Instagram, sih. Kalo udah, jujur gue nyerah. Setiap hari pasti dia nanyain.

Pernah nih, sekali-kalinya.

Eh, gak deng sering.

Di jam kerja, dia nelpon gue buat nanya. Buat nanya.

“Ben, wifinya rusak ya?

“Ben, wifinya ga bisa, nih.”

“Abang wifinya kapan dateng?”

Kalo kalian follow twitter, mungkin kalian akan sering liat gue mengeluh ke salah satu provider wifi tersebut, ya karena sebulan bisa sering aja gitu.

Gue kehabisan kata-kata deh pokoknya sama tabiat nyokap yang satu itu. Di saat meeting, kalo nyokap telpon tuh gue kira akan sebuah masalah yang lebih penting. Tapi ternyata, gak lebih dari persoalan WIFI.

Iya. WIFI. Bayangin, gue keluar ruangan meeting hanya denger suara dia bilang “Ben wifinya ga bisa.”

Disangka gue teknisi WIFI kali ya, kalo alat itu rusak. Mungkin kalian bertanya, kenapa gak dipakein paket data aja Ben. First of all, gue sangat ingin masangin itu. Sangat ingin. Ingin banget.

Namun gue balik lagi nanya, berkontemplasi, merenungkan dari segala hal teknis yang mungkin akan terjadi.

Gue akan sangat gak terkejut aja jika doi nanya “Ben internetnya kok ga bisa, ya?”

“Ben, ini paketnya habis atau gimana?”

Maka dari itu, gue sepakat dengan diri sendiri, nyokap gausah dipasangin paket data. Soalnya, setiap hari, dia bakal buka yutub, dari nonton MasterChef Indonesia sampai nonton gossip gitu.

Jadi kemungkinan pemborosan kuota akan bertambah. Sebagai anak yang pelit irit, meskipun ga irit-irit banget, gue gak mendukung. Gue lebih mendukung hal lain, contohnya kumpul kebo.

Dukunglah hidup kumpul kebo!

Astagfirullah. Laknat gue.

Maksud gue kumpul kebo begini

Hasil gambar untuk kumpul kebo

***

Anyway, stay healthy, folks! Mari kita dukung gerakan #dirumahaja. Kepentingan banyak orang bertaruh dari kegiatan rebahan kita.

Adios~~

Saturday, March 31, 2018

Kisah Di Balik Pendakian Gunung

Kalo pengen tau rasanya diputusin dengan alasan tidak logis, tanya aja sama gue. Siapatau gue ngerti jawabannya.

***


Waktu itu, gue lagi jarang banget naik gunung, tapi suddenly kepikiran buat nyoba Gunung Slamet. Ya mengingat gue belum pernah dan juga *kayanya* habis diputusin atau lebih tepatnya diputuskan secara pihak sampai akhirnya itu mantan meniqa dan gue tidak diundang.

Anjir. Sedih juga nulisnya.

Ya, biasanya gue naik gunung karena pelampiasan perasaan, sih. Entah sedang jatuh atau 'jatuh' cinta. Gue rasa kebanyakan sih yang di'jatuh'in.

Pernah, tuh, gue naik gunung nulis di buku tulis (note) kecil, ngajakin cewe yang gue taksir buat ta'aruf, namun apadaya, si cewe ternyata udah punya pacar selama 7 tahun. Macem lo mau KPR itu tinggal 8 tahun lagi lunas. Ya ujungnya mereka sih meniqa sekarang, dan sudah bahagia.

Anjir. Sedih lagi.
Ini gue nulis, gak ada bahagianya, pisan.

Lalu, apalagi, ya.

Oh iya, waktu itu naik ke Guntur, itu juga lagi pacaran sama orang yang gue deketin hampir 6-8 bulanlah, pastinya lupa. Yaaaaaa, kalian bisa nebaklaaah. Gue diputusin setelah gue pacaran cuma 4 bulan.


Akhirnya dia meniqa kemarinan. Gue sih diundang, tapi gak dateng. Bukan karena gue sedih, tapi karena waktu nikahannya tidak cocok dengan acara kesendirian gue.

Puck. Anjir. 

Hmmm, pas naik Gunung Papandayan juga. Itu gue abis diputusin, padahal gue udah jadian selama 1........
.......
......
bulan. 

Iya secepat itu. 
 
Kalian gak salah baca. 

Ini gue pacaran kaya macem main petak umpet. Bentar banget. Alesannya karena gak direstuin nyokapnya. Padahal gue tau, engga berapa lama dia pacaran lagi sama mantannya.

Kesel? Iya. Sedih? Iya.
Tapi gue biasa aja *padahal ini nangis sesenggukan.

Semua kisah di atas merupakan alasan di balik pendakian gunung yang telah gue lalui. Ya padahal masih banyak, sih. Entah gue diputusin, atau gue emang yang terlalu baperan anaknya. Tapi, plis, hati gue bukan mainan. Kayaknya cuma slime yang dibuat dari lem fox dan gom. Kenyal kenyal menggiurkan.

Seluruh pendakian tersebut udah bikin gue move on, kok. Karena pendakian, menurut gue, adalah cara terbaik ngobatin sakit hati. Tidur di bawah langit dan bintang beralaskan matras di dalam tenda itu juara banget. Tempatnya adem, yaiyalah adem namanya juga gunung. -.-

Bukan, bukan itu.

Kalo kalian pernah atau enggaknya naik gunung, cobalah lo sesekali sampai di atas gunung itu sore ketika lembayung senja timbul. Lalu, lo termenung melihat kota dari kejauhan, bayangin kalo lo berasal dari bawah kota yang telihat kecil itu, dan setelahnya bayangin lo udah napakin kaki lo sejauh ini.

It is worth to wait.



Apalagi lo bayanginnya di samping tenda sambil nahan berak. Duh. Pasti lo engga bakal kepikiran lagi, yang ada di otak lo hanya ada kata "Anjir, gue berak dimana ya ini."


Haha.

Sebuah kiriman dibagikan oleh Benbageura (@benbayoga) pada


Nah, kaya gini nih pemandangannya. Bagus, kan? Kan? Kan?


PS:
Buat mantan-mantanqu, bahagialah. Setidaknya gue pernah ada di posisi yang membahagiakan kalian, dahulu. Cailah. Wekwekwek.

Friday, February 2, 2018

Halo!

Hai!
Apakabar? Udah lama banget gue ngga ngepost. Semoga kalian baik-baik aja dan selalu sehat selalu. By the way, gue juga sehat, kok. Eh, gak ada yang nanya, ya?

Kenapa hampir setahun ngga nulis di blog ini? Alasannya, karena gue merasa ngga bisa nulis lagi. Iya, kayanya lemah banget, ya. Tapi namanya cowok, sering banget gue ...


Dan meraba-raba di kamar gelap, sambil meminta tisu yang baru aja abis. Yaampun, dosa banget gue bahasnya beginian. 

Intinya, di 2018 ini, gue mau sering nulis, deh, entah karena apa. Jalan-jalan, cinta-cintaan ataupun naik gunung. Semoga sih bisa nulis dan menghibur lagi, meskipun gue ngga lucu-lucu amat. Udah gitu doang, kok.

DAN ADIOS! 
Kalo habis diputusin, gausah sedih, mikir aja kenapa lo sampe diputusin, macem gue.


Saturday, October 15, 2016

Main-main ke Pendakian Gunung Sindoro

"Ben, mau ikut ke Sindoro, ngga?" Ajakan abang gue.


***
Ketika mendapatkan ajakan seperti itu, langsung saja gue iyakan. Alasannya simpel, karena udah jarang main di kebon (red: gunung) dan emang lagi ngga ada rencana. Ya meskipun, ajakannya terjadi karena adanya peserta yang gagal ikut, sih.

Selain itu, kayanya setelah wisuda kuliah, gue belum mendaki gunung lagi. Kapan lagi ye kan bisa foto pake toga di atas gunung.

Buat yang bertanya-tanya, Sindoro itu ada dimana, mending googling dulu deh, sebelum melanjutkan ke kalimat selanjutnya. Huh.


Eh engga, deng. Bercanda.

Gue googling dulu, ye. Bentar.

Gunung Sindara, biasa disebut Sindoro ataupun Sundoro (ketinggian 3150 mdpl) merupakan sebuah gunung volcano aktif yang terletak di Jawa Tengah, Indonesia, dengan Temanggung sebagai kota terdekat. Gunung Sindara terletak berdampingan dengan Gunung Sumbing.

Nah, hasilnya dari Wikipedia.com, tuh. Gimana? Memuaskan?

HA HA HA HA

By the way, sekalipun gue cuma diajaki naik gunung, tapi kita mesti tetep melihat kondisi teraktual gunung itu gimana, terutama bagi gue pribadi itu ialah cuaca. Hujan, kah? Panas, kah?
Cara gue melihat kondisi itu biasanya lewat mountainforecast.com (kalo masih ada),  kadang-kadang akurat, kadang tidak. Karena semuanya ada di tangan Tuhan Yang Maha Esa. Bukan di tangan Aa Gatot atau Dimas Kanjeng.

Ke Gunung Sindoro ini kalo dari Jakarta bisa dicapai melalui Purwokerto lalu nanti biasanya ada yang menawarkan untuk mencarter minibus sampai ke Basecamp Sindoro, ataupun jika kalian hanya sendiri, bisa menaiki bis yang menuju ke Semarang dari Terminal Purwokerto, lalu berhenti di Kledung.

Ingat. Kledung. Bukan Blendung ataupun Tekdung.

Sudahlah.

Sesampai di sana, cuaca mendung dan gelap, persis seperti dugaan gue mountainforecast. Meskipun begitu, gue dan rombongan langsung mencari tempat pendaftaran dan istirahat (repacking peralatan). Iyap, sebaiknya, sebelum melakukan pendakian, kita mesti memetakan peralatan dalam rombongan, dilihat dari kekuatan tim dan lainnya. Jangan sampai memaksakan seseorang, malah nantinya membuat rombongan ngaret dan molornya jadwal pendakian.

Aslik. Sok ngerti banget ye gue. Hahaha.

Setelah beberes, kondisi malah hujan besar, dan lama, sehingga pendakian agak molor ke jam 4 sore. Deym. Bakal pendakian malam lagi ini, mah. Gue pikir.

Di saat pendakian, mau ngga mau, tetep dalam kondisi gerimis. Kita harus jalan, karena rencananya bakal melakukan pendakian ke tetangga sebelah esoknya. Ya walaupun ini cuma jadi angan-angan semata.

Sebenernya, gue pengen nulisin berapa jam untuk ngedakinya. But, karena ini pendakian lama yang baru ditulis. Jadinya gue lupa, deh. Maafkeun. Tapi dari basecamp ke Pos 3 itu, gue memakan waktu sekitar 3 jam, deh. Tanpa jeda istirahat yang banyak, ya. Sedangkan, Pos 3 ke Puncak sekitar 3 jam juga sepertinya.

Di Pos 3 ini, karena kita sudah kemaleman, kita ngga kebagian tempat buat nenda, dapet sih tapi kondisinya miring. Pas tidur, tiba-tiba kaki gue melorot ke bawah. Lalu gue merasa kedinginan. Iya, tenda yang kemarin ngga proper dibuat tidur karena kehabisan lapak. Jadilah, bangun tenda seadanya, yang penting berdiri dan menutup kita dari angin malam.


Esok paginya, kebangun karena kedinginan juga, membuat gue menjadi males meneruskan perjalanan sampai Puncak. Sekali lagi, ini bukan Puncak Mesjid At-tawun, yaa.

Ya, sebenernya karena kepalang udah bawa toga aja, sih, jadinya tetep lanjut.

Tapi sebelum melakukan pendakian ke Puncak, gue kasih beberapa foto asyik. Diambilnya cuma pake iphone 4S, kok







Akhirnya, setelah menanyakan ke beberapa rekan yang lain, dan ngga ada yang mau nerusin ke Puncak. Kami pun hanya melakukan berempat. Dimana logistik, hanya gue yang bawa. Mereka dengan asyiknya hanya bermodal tubuh sendiri. Siakek, emang. Asemik.

Dengan akal bulus yang aduhai, kalo mereka bilang haus, gue bilang nanti aja, “Puncak sudah deket.”. Kejam sih memang, lho tapi air minumnya kan gue ga minum sendirian juga. Jadinya ga begitu kejam, dong, ya? Hehe.

*ditabok*

Sampai akhirnya, ada pendaki yang kehausan, gue kasih air minumnya, lalu gue malah ditinggal sama mereka. Double asemik lagi namanya.
 

Sambil menyelam, motret dulu.

Tapi emang kondisinya yang kurang bagus, sesampai di atas, ngga ada pemandangan yang bagus, cuma ada foto studio aja. Belakangnya cuma kabut. :( Sedihlah pokoknya. Udah capek-capek berjuang, malah dikasih pemandangan yang kurang bagus. Hiks. 

Deym. Putih gini. :(

Ganteng, kan?

Tuesday, September 27, 2016

Hal-hal yang Dapat Dilakukan Di Bukit Rhema

Astaga, gue udah lama ngga nulis, ya. Lama banget ninggalin segala bentuk tulis menulis, dari tulisan puisi, galau ataupun jatuh cinta.

Eh, gue masih sering nulis review film di path, deh. Meskipun cuma difrowned aja sama men temen gue. 

Sedih, ya.
Tapi, gapapa, gue itu lelaki setrong yang masih tersisa di muka bumi ini. Bukti dari ke-setrong-an gue ini adalah SUDAH BERANI SAMA YANG NAMANYA KECOA TERBANG. Yosh!

Kali ini, gue pengen nyeritain tentang Bukit Rhema (si Gereja Ayam di AADC2) ini, yang semakin hari makin heits dan membahana. Layaknya kisah Rangga ke kamu Cinta. Sebenernya, selain liburan ke sana, gue udah menjalani liburan di lain tempat, sih. Sayangnya, kerangka ceritanya hilang. Dan jadilah gue ngga bisa nulis tentang itu. Tapi, nantilah, akan gue carikan untuk kalian.

So, here it is.

Liburan kami (gue dan rombongan) (padahal ga ada gunanya dijelasin) direncanakan akan menapak tilas AADC 2. Deeeuh, napak tilas. Gaya banget.
Padahal mah rencana udah mateng banget, tapi kadang-kadang, emang rencana Tuhan yang lebih bijaksana. 

Seperti pertemuan aku ke kamuuuuuuuuuu. Eeque-lah.

Jadi inilah Bukit Rhema

Si gagah Bukit Rhema

Hal-hal yang dapat dilakukan sambil menunggu antrian Bukit Rhema.

1.  Tidur


 Karena tidur sendiri sudah mainstream

Ini sesuatu yang sangat amat mesti dilakukan ketika berkunjung ke Bukit Rhema akhir-akhir ini. Kenapa gue bilang seperti itu? Karena ya karena, ngantrinya aja udah lama banget buat naik ke atas untuk ngikutin ngobrol ala Rangga dan Cinta. Kalau boleh saran, mah, mending ke sininya pas ngga musim liburan panjang gitu. Katanya sih lebih lama dari jatah libur panjang, yaitu lebih panjang 8 menit saja sodara-sodara!

2. Liatin cewe (insyaAllah, mata aku cuma ke kamu) (ini saran buat yang lain aja, kok)

Iya, kegiatan ini ngga wajib dilakukan, hukumnya sunnah, sih. Apalagi buat kamu yang sudah punya pacar, punya gebetan ataupun kamu yang punya gebetan tapi gebetan cuma baca pesan kamu tanpa membalasnya. Camkan!

3. Nyinyirin orang

Karena tipe-tipe masing orang yang berbeda, nyinyir itu jadi kegiatan luar biasa yang jarang dilakukan. Kecuali kamu seperti gue, yang sering kadang suka nyinyir orang yang barusan lewat depan mata sendiri.

Memang, godaan terbesar manusia adalah nyinyirin orang yang kadang suka make bajunya emang bener bener minta dikomenin banget. Contohnya : Mas-mas dengan geng cowonya, namun bercelana gemes. 

4. Makan

Kalo ngga bawa duit, ngga usah. Kalo lagi bokek, ngga usah. Kegiatan ini ngga maksa. 

5. Minum

Ini wajib, karena apapun makanannya, mesti minum.

Oh iya lupa, karena awalnya ngga makan, berarti ngga harus minum juga.

Kemudian kalian bertanya, “Si Ben mau nulis apa, sih?” Lalu gue menjawab, “Whatevalah” 

6. Ambil nomor antrian



Rame, kan?

Iya, kalo kamu mau ke Bukit Rhema, nomor antrian wajib di ambil, tapi jangan dibawa pulang. Karena kalau kamu ngga ngambil antrian, buat apa menunggu.

Gimana? Pinter kan saran gue ini?

7. Foto-foto




Kalau tertarik, bisa hubungi gue, ya. :))


Nggausah disuruh, kalian pasti bakal foto-foto, sih. Sejelek-jeleknya, gue tetep bakal foto kok.

Tapi motoin orang yang mau difoto.

8. Mending gausah naik
Gimana?
Saran teristimewa dan paling mutakhir abad ini:

YAUDAH NGGAUSAH NAIK KALAU EMANG NGGA MAU ANTRI, MAH!

Lah, kenapa gue jadi kesel sendiri gini, ya. Mungkin karena pesan gue ngga terbalas juga pas nulis ini.

Sedihlah pokoknya jadi kamu.

Kok kamu?

Kalo kamu baca ini kan, berarti kamu belum pernah ke Bukit Rhema.

Eh bener ngga sih?

Yasudah, lupakan, mungkin gue lagi khilaf. Pokoknya kalau kamu mau foto bagus, mending ke Punthuk Setumbu aja. Tapi kalau mau ngilangin hasrat, coba ke sini.